Rabu, 02 Januari 2013

Gadis Etalase



Sudah 5 tahun aku tak lagi bisa merasakan apa yang dinamai kebebasan. Hidupku adalah milik tuanku. Bahkan, sekujur tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki bukan lagi mililkku. Kecuali segumpal darah yang ternamai dengan “hati”. Mereka bilang aku bukan lagi gadis yang masih perawan. Tetapi menurutku aku masih tetap menjadi seorang gadis yang perawan, sebab aku tak pernah melayani tuan-tuanku dengan suka rela. Apalagi dengan cinta, secuilpun tidak.
Aku seperti mayat hidup yang selalu menuruti perintah tuan-tuanku. Saat mereka mulai menyentuh kulit tubuhku, aku selalu beranggapan bahwa aku sudah mati. Hingga mereka bebas melakukan apa saja terhadap tubuhku yang telah terjual ini. Sebab hanya itu yang bisa kulakukan. Melawan. Ah, tidak hanya satu atau dua kali kucoba. Berkali-kali aku mencoba untuk tidak membiarkan tubuhku ini dihinggapi tangan-tangan kotor itu begitu saja, namun aku tak berdaya. Tangan-tangan penjual tubuhku selalu siap mendarat di bagian tubuhku yang ia kehendaki.
Kadang, saat tuanku membawaku keluar dari istana yang telah mengurungku, aku berniat untuk kabur. Tentunya setelah lebih dulu membunuh tuan yang telah semena-mena terhadap tubuhku. Tapi apalah daya, algojo mami Sarah selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Walhasil, tiada pilihan selain kembali kepada mami dan menuruti semua kemauannya.
***
“Namanya Bunga. Dia satu-satunya anak perempuanku.” Kata ayah sambil membelai rambutku.
“Tolong carikan dia kerja. Apapun yang penting halal.” Lanjutnya.
Seorang wanita cantik yang duduk di sampingku dan sedari tadi melihatiku, berkata.
“Saya usahakan. Pokoknya dia mau ikut saya, pasti semuanya akan mudah.”
Tergambar senyum bahagia dari bibir ayah saat itu. Akan tetapi, justru senyum ayah itu adalah jerit tangis bagiku. Aku tidak ingin meninggalkan kampung. Di sini pasti aku juga bisa mencari pekerjaan tanpa harus berhijrah ke kota. Apalagi di kota aku tak punya sanak saudara dan juga tak ada teman. Namun, ayah terus meyakinkan aku bahwa aku akan baik-baik saja. Masih ada tante Marni, katanya pun demikian.
Meskipun berat rasanya meninggalkan kampung, itu lebih berat dari pada melihat ayah kehilangan senyum dari raut wajahnya. Akhirnya akupun pergi dan tentu harus segera kembali demi ayah.
***
Sesampainya di kota, tante Marni menyuruhku untuk ikut tante Sarah, sahabatnya. Katanya dia yang akan memberiku pekerjaan di kantornya. Hati kecilku pun berkata, mau disuruh kerja apa aku di kantornya. Aku hanya seorang gadis berijasah SD, dan aku tak mempunyai keterampilan apa-apa. Ah, mungkin aku akan dijadikan cleaning service di kantornya. Pikirku pun demikian.
Malam itu juga untuk ikut tante Sarah, aku hanya bisa mengangguk menuruti semua perkataannya. Mobil yang kutumpangi melewati sebuah tempat yang masih asing dari penglihatan mataku. Dari kaca mobil, aku melihat para gadis duduk berjajar di balik lapisan kaca. Pakaiannya yang sedikit terbuka, lalu terdengar suara seorang lelaki paruh baya menggiring setiap kendaraan yang lewat untuk parkir. Sepanjang jalan di gang itu, pemandangan seperti itulah yang kulihat.
Aku hanya bisa menerka. Aku juga tidak berani bertanya kepada tante Sarah. Aku pun diam.
***
Ternyata ketulusan tante Marni sebatas hanya di bibir saja. Ia menyerahkanku kepada seorang mucikari, tante Sarah.
Sejak saat kutahu bahwa aku telah dijual, aku telah menjadi bagian dari gadis yang duduk di balik etalase-etalase itu. Kelak aku harus berdandan semenarik mungkin dengan pakaian yang terbuka. Hingga datanglah ular-ular yang siap menjilati tubuhku.
Hanya ayah yang terbayang dalam benakku. Bagaimana seandainya kalau dia tahu nasibku di sini. Di sebuah gang, tempat prostitusi terbesar di kota ini, di negara ini, dan bahkan diantara beberapa negara tetangga.
Serasa aku sudah mati sejak pertama kali merelakan tubuhku kepada seekor ular yang tak berbisa, malam itu. Hingga aku pun tak bisa menalar bagaimana bisa selama 5 tahun ini aku melayani ular-ular itu. Mungkin aku telah benar-benar mati, dan aku yang sekarang hanyalah mayat yang belum dikubur semestinya. Entahlah.
Aku berada di tempat ini bukan atas kemauanku sendiri. Aku terjebak. Dan jurang yang telah menjebakku terlalu dalam hingga aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri tanpa bantuan orang lain.
Namun, tidak ada satupun yang menilaiku sebagai gadis baik-baik. Mereka hanya tahu apa pekerjaanku, dan apa yang kulakukan setiap malam. Dan itu tentu merupakan hal yang wajar. Setiap gadis yang berada di lokalisasi adalah gadis yang tidak baik. Stigma itu yang harus kutelan dan kurasakan pahitnya. Tapi, apakah mereka tahu bagaimana aku bisa jadi seperti ini? Tidak. Bahkan tidak ada yang mau tahu.
Sampai kapan aku harus bertahan, duduk setia dibalik lemari kaca ini. Lalu pura-pura tersenyum, padahal hati menangis. Dan menjadi mayat hidup saat tuannya mengehendaki tubuh ini. Andai saja membunuh diri sendiri itu tak berdosa, pastinya aku telah menyayat nadiku dengan silet atau pisau sejak dulu.
Aku rindu ayah. Aku ingin pulang dan bertemu dengannya. Sebelum tubuhku benar-benar habis untuk mengenyangkan ular-ular itu, sebelum hatiku gagal kupertahankan keperawanannya, dan sebelum etalase-etalase itu rusak dan kacanya pecah berhamburan mengenai urat nadiku. Sebelum..
Ah, percuma aku berkhayal demikian. Aku tidak bisa kembali pulang untuk bertemu ayah. Apalagi untuk sekedar merasakan udara kebebasan seperti layaknya gadis seusiaku. Tidak akan ada yang mau mengulurkan tangannya padaku. Tak ada, satupun…
Lupakan keinginan utopismu itu. Bisik hatiku.
***
Seperti malam-malam biasa, aku harus melayani ular-ular itu secara bergiliran. Pedih, perih telah kulupa rasanya. Seekor ular hitam dan buas membawaku jauh dari wisma.
Ia mulai menjilati tubuhku, lalu perlahan melilit tubuh tak berdayaku. Dia sungguh buas, dengan segala usaha aku melepaskan diri dari tubuhnya yang bau anyir seperti ular.
Dan setelah akhirnya aku bisa melepas lilitan lelaki gila itu, tanganku telah terbelenggu borgol seorang lelaki berseragam.
Kini aku benar-benar tak bisa pulang, pisau yang ada ditanganku telah lembawaku ke tempat baru. Bukan wisma pelacuran, bukan juga kampung halaman, tetapi jeruji besi. Ya,  jeruji besi.

Penulis- Nok Asna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar